Terkadang kita sering merasa hidup orang lain selalu lebih baik daripada kita. Orang lain sepertinya tidak memiliki beban, tidak punya masalah, dan selalu bahagia dalam hidupnya. Sedangkan dirikita selalu ditemani masalah yang sering datang dan pergi. Sehingga kita mulai beranggapan kalolah bisa seperti mereka mungkin akan merasakan hal yang sama. Tapi kenyataanya tidak selalu demikian, sebab segala sesuatu yang kita anggap baik, belum tentu hal tersebut baik terhadap dirikita. Kita tidak tahu ujian apa yang terjadi dalam hidup mereka. Bahkan kita tidak tahu bagaimana perasaaan mereka yang sesungguhnya, sedangkan kita hanya melihat sisi luarnya saja.
Namun kita sering beranggapan rumput tetangga jauh lebih hijau dari rumput sendiri. Kita merasa apa yang dimiliki oleh orang lain jauh lebih baik, lebih cantik, lebih menggoda, lebih bagus? Sedangkan milik kita biasa saja, dan tak menarik pula. Kita selalu berfokus pada rumput tetangga akhirnya lupa dengan rumput sendiri. Setiap hari waktu yang kita miliki dihabiskan untuk membanding-bandingkan rumput sendiri dengan orang lain, sehingga kita lupa menyirami dan merawatnya.
Padahal rumput tetangga hanyalah bisa dipandang dari kejauhan. Yang kita hanya bisa memuji kesegarannya dari luar pekarangan tanpa bisa menyentuhnya.
Memang segala sesuatu yang kita miliki terkadang bisa membuat bosan bila setiap hari dipandang mata. Bahkan kita pun tahu setiap kelemahan dan kelebihannya juga. Akhirnya kelebihan-kelebihan yang dimiliki sudah tidak lagi diperhatikan. Sama halnya seperti baju yang setiap hari kita pakai, terkadang kita tidak peduli apakah dia robek atau tidak. Selesai dipakai kita sering menghiraukan dan melemparnya sesuka hati. tak ada rasa peduli dan perhatian lagi terhadap apa yang kita miliki. Bila rusak kita hanya biasa saja, tak ada rasa bersalah dan penyesalan pula. Begitu pun dengan rumput kita tadi, karena terbiasanya dengan rumput tersebut, akhirnya kita lupa untuk menyirami dan merawatnya, sehingga rumput itu menjadi layu dan tak sedap lagi dipandang mata.
Kita sering merasa orang lain lebih bahagia, lebih tampan, lebih cantik, lebih berbakat, sedangkan kita biasa saja dan tidak diperhatikan pula. Orang lain tampak begitu bahagia memiliki ini dan itu, sedangkan kita tidak memiliki apa-apa. Padahal orang lain juga belum tentu memiliki sesuatu yang kita punya. Bisa saja mereka juga memikirkan hal yang sama seperti kita. Namun kitalah tidak merasa karena selalu berfokus pada orang tersebut.
Manusia memang memiliki anugerah yang berbeda-beda, apa yang kita miliki belum tentu dimiliki oleh orang lain, begitu juga sebaliknya. Kalolah nikmat itu sama semua, maka tidak akan ada harmonisasi, dunia tidak akan tampak indah. Bayangkan jikalau kita memiliki sesuatu yang sama, katakanlah baju yang sama, mungkin kita akan merasa malu, karena sama-sama. Itulah nikmat yang Allah berikan. Ternyata Ia hanya akan memberikan sesuatu yang sudah pantas kita miliki. Mungkin saja kita belum memiliki ini itu, karena kita memang belum pantas menerimanya. Bisa jadi kalau kita memiliki akan menjadi sombong dan tidak akan merasa cukup dan cukup. Sehingga Allah memberikan ini dulu, agar dapat disyukuri.
Seringnya kita memikirkan sesuatu yang diluar kemampuan. Padahal tak selamanya uang yang banyak, wajah cantik-tampan bisa membuat bahagia belum tentu juga. Kalolah dipakai untuk menduakan Allah pasti akan menimbulkan kegelisahan. Punya wajah cantik, tapi dipakai untuk menjadi model. Yakinlah pasti ada kegelisahan dalam hati, karena aurat selalu diumbar-umbar. Biasanya kalo aurat itu selalu dibuka, ada kemungkinan orang bisa menyentuhnya. Mungkin berpegangan tangan adalah hal yang kecil, namun bisa sampai lebih dari itu. Tetapi bagi yang menjaga kemuliaan, justru akan asing dengan hal-hal tersebut. lantas apakah itu membuatnya tidak bahagia gara-gara tidak bisa sebebas itu, tidak juga. Karena menjaga kemuliaan dimata Allah jauh lebih bahagia daripada mendapatkan kebahagiaan dari manusia.
Belum tentu orang yang memiliki rumah besar memiliki kebahagian dan ketenangan. Walaupun mereka punya harta berlimpah, mobil mewah, kalaulah semua orang melihat pasti ingin seperti mereka, tapi siapa sangka setiap malam mereka tidak bisa tidur nyenyak karena memikirkan hutang. Atau mungkin setiap hari mereka tidak tenang karena dihantui ketakutan untuk menyembunyikan kekayaan negara.
Belum tentu orang yang bermesraan berdua tanpa ikatan merasa lebih bahagia. Walaupun mereka berpegangan tangan, merangkul mesra, tapi siapa sangka bahwa Allah melihat mereka. Bahkan kita tidak tahu seberapa banyak uang orang tua dihabiskan untuk yang tidak berguna. Seberapa banyak kebohongan kepada orang tua hanya mengejar cinta yang semu belaka. Seakan dunia merasa milik berdua, dan yang lainnya hanya numpang segala. Bahkan sampai memberikan segala-galanya pada seseorang yang belum tentu masa depannya seperti apa. Sedangkan bagi yang terus bersabar dan memantaskan diri, walau mereka sendiri belum tentu tampak sedih, justru kebanyakan mereka bahagia dan berprestasi. Mereka justru tidak ingin membuat pasangan mereka jatuh ke dalam lembah kemaksiatan. Mereka ingin menunggu waktu yang tepat, agar Allah ridho kepada mereka.
Jadi, rumput tetangga yang setiap hari kita puji kesegarannya diluar pekarangan, ternyata belum tentu seperti yang kita kira. Bisa saja rumput itu hanyalah sintetis, sehingga ia selalu tampak menarik dibalik kepalsuan.
Maka daripada kita sibuk memikirkan rumput tetangga yang bukan milik kita, lebih baik kita mensyukuri rumput yang kita miliki. Karena sesungguhnya kalolah kita selalu bersyukur, maka Allah akan menambahkan nikmatnya lagi. jadi, siramilah dengan air cinta, dan pupuk dengan kasih sayang. Biarkan rumput itu layu dan berwarna coklat, toh cantik juga kan kalo warnanya coklat beda dari yang lain. intinya rumput tetangga selalu tampak lebih indah, tapi yakinlah rumput kita pasti lebih asyik, namun tergantung bagaimana rasa syukur kita terhadap rumput tersebut. mulai sekarang bolehlah kita melihat rumput tetangga, hanya untuk instrospeksi diri, bagaimana caranya bisa sehijau itu. Tapi jangan iri, bahwa hijau juga belum tentu bahagia.
No comments:
Post a Comment