Thursday 26 June 2014

Negeri – Negeri Di Aceh Barat Daya Dalam Lintasan Sejarah



Memahami asal-usul penduduk yang mendiami pantai Barat Daya Aceh, mulai dari ujung Manggeng hingga Ujong Raja sampai saat ini masih mengandalkan sumber lisan dan sumber tertulis yang sangat terbatas. Menurut tradisi lisan, penduduk yang pertama mendiami daerah tersebut adalah orang Batak yang mereka kaitkan dengan keberadaan nama topografi suatu tempat seperti Guha Batak di pedalaman Blangpidie. Koloni orang Batak itu dikalahkan oleh para pendatang baru yang berasal dari Sumatera Barat maupun dari daerah Aceh sendiri.Suku Minangkabau dari Sumatera Barat bermigrasi ke daerah itu yang diperkirakan terjadi pada bagian kedua abad ke-17, karena semenjak Belanda menduduki Sumatera Barat melalui Traktat Painan tahun 1663, orang Aceh yang sebelumnya mengontrol daerah tersebut dan orang Minangkabau yang tidak mau tunduk kepada Belanda merantau ke pantai Barat Aceh. Sebagian di antara mereka ada yang membangun koloni di Susoh dan sebagian lainnya di Meulaboh atau di tempat lain.


Bersamaan dengan itu, daerah tersebut didatangi pula orang Aceh yang berasal dari Aceh Besar dan Pidie dengan maksud membuka perkebunan (seuneubok) lada yang hingga awal abad ke-19 merupakan tanaman ekspor penting di Aceh.

Koloni Minangkabau dan Aceh itu membangun komunitas mereka terutama pada muara-muara sungai setempat, antara lain Lama Tuha, Kuala Batu, Susoh, Suak, Lhok Pawoh dan Pasi Manggeng. Lambat laun pemukiman itu berubah menjadi suatu pemerintahan lokal yang berdiri sendiri, tetapi berada di bawah lindungan Kerajaan Aceh Darussalam. Namun demikian, ada juga di antara mereka yang berhasil melakukan konsolidasi kekuasaan berkat kegiatan perniagaan lada sebagaimana yang terjadi dilakukan Lebe Dafa di Susoh dan Datuk Besar di Manggeng pada permulaan abad ke-19. Datuk Besar yang konon kabarnya enggan membayar upeti kepada Sultan Aceh sehingga Sultan Alauddin Jauhar al-Alamsyah (1795-1824) cukup marah dan memutuskan berlayar sendiri untuk menyerang Datuk Besar di negeri Manggeng tersebut.

Aksi penertiban yang dilakukan oleh Sultan itu, bukan berarti bahwa kerajaan-kerajaan kecil itu secara mutlak dapat dikontrol oleh pusat kerajaan di Bandar Aceh Darussalam. Di daerah ini misi dagang Inggris, Amerika dan Belanda dapat secara leluasa memasuki pelabuhan-pelabuhan di pantai Barat Daya pada permulaan abad ke-19. Sebagaimana yang dilakukan oleh John Anderson yang pernah menyinggahi pelabuhan Manggeng, Susoh, Kuala Batu dan Seumayam.

Pada tanggal 3 Februari 1831 terjadi konflik antara anak buah kapal dagang Amerika Serikat “Friendship” dengan penduduk Kuala Batu yang bermuara pada insiden bersenjata. Akibat dari insiden tersebut, Bandar Kuala Batu diserang hingga hancur oleh armada Amerika Serikat “Potomac” pada tanggal 6 Februari 1832.

Susoh yang merupakan sebuah teluk yang tenang, pada abad ke-18 dan awal abad ke-19, merupakan salah pusat perdagangan di pantai Barat Aceh yang sentralnya di pelabuhan Kedai Susoh. Penduduk-penduduk yang ada di sana kemudian menyebar ke berbagai daerah di pantai Barat tersebut. Hal itu seperti yang dilakukan oleh Leube Dafa dan Basa Bujang, yang sudah sejak lama menetap di Susoh, kemudian bermigrasi ke Trumon dan Singkil. Hal seperti itu juga disebutkan oleh Kapten Canning yang pernah meninjau Aceh atas perintah Gubernur Jenderal Hindia, di Kalkuta, India, menyebutkan bahwa Lebe Dafa menguasai pelabuhan di pantai Selatan maupun Barat Aceh, seperti Singkil, Ayam Dammah, Trumon, Rambong, Seuleukat, Susoh dan Kuala Batu. Basa Bujang dan Lebe Dafa pindah ke Trumon dan karena kekayaannya lalu mendirikan kerajaan di Trumon. Lebe Dafa kemudian kawin dengan puteri Raja Singkil dan menjadi kaya bahkan tidak lama setelah itu menjadi raja di daerah itu.

Susoh sebagai pusat perdagangan dengan beberapa negeri di sekitarnya, seperti Kuala Batu, Blangpidie, Lhok Pawoh Utara (Tangan-Tangan) dan Manggeng, serta dengan negeri Gayo Lues (Patiambangan). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Susoh pada waktu itu merupakan mata rantai perniagaan di pantai Barat Daya Aceh, bahkan kenegerian-kenegerian yang ada di pantai Barat Daya itu secara politik dahulunya termasuk wilayah Susoh. Menjelang penaklukan kerajaan Aceh oleh Belanda, di pantai Barat Daya telah berdiri sejumlah kenegerian yang berdiri sendiri di bawah payung Kerajaan Bandar Aceh Darussalam. Menurut Van Langen (1888), Asisten Residen Aceh Barat 1881-1886, Susoh terletak di Teluk Susoh, sebelah Timur berbatasan dengan Blangpidie dan sebelah Barat dengan Samudera Hindia (Samudera Indonesia).

Menurut oral history pada mulanya penduduk yang mendiami negeri Susoh adalah etnis Batak, namun terdesak oleh penduduk yang datang kemudian, terutama orang dari Minangkabau dan orang-orang Aceh dari Aceh Besar. Koloni orang Minangkabau yang dipimpin oleh Datuk Bagak datang bertempat tinggal di Susoh dengan persetujuan dari penguasa Batak yang berkuasa di tempat itu. Datuk Bagak kemudian nikah dengan salah seorang putri Raja Batak, dan kemudian dapat mengislamkan sebagian dari orang Batak. Dengan bantuan orang Minangkabau di Seunagan yang dipimpin oleh Datuk Baginda, ia memerangi dan mengusir orang Batak yang tidak mau menganut agama Islam. Datuk Bagak dan Datuk Baginda lalu membagi wilayah Susoh itu dan memerintahnya secara bersama-sama. Datuk Bagak atau Datuk Tua yang berasal dari Suku Barat (Pariaman) menguasai daerah di sebelah kiri sungai Pinang, yang diberi nama dengan Kampung Barat. Datuk Baginda atau Datuk Raja menguasai daerah di sebelah kanan sungai Pinang dengan nama Kampung Pinang.

Tidak lama kemudian datang lagi orang-orang dari Minangkabau dan diizinkan oleh Datuk Bagak bermukim di daerah itu untuk bertani lada. Mereka berasal dari Suku Kabung (Kampar), yang dipimpin oleh Datuk Marah Padang yang mendirikan Kampung Durian Rampak. Setelah itu datang lagi para petani Rawo dari Pariaman, yang dipimpin oleh Datuk Mageh Kesumba dan meminta izin kepada Datuk Bagak untuk bertani di pedalaman Susoh, selanjutnya menjadi pendiri Kampung Rawa. Datuk Baginda yang mempunyai keluarga di Seunagan di bawah pimpinan Datuk Binca, juga datang ke Susoh dan mendirikan Kampung Paoh.

Pada waktu itu, orang Minangkabau berada dalam lingkungan yang wilayahnya dikuasai oleh orang-orang Aceh dan kebebasannya terbatas, namun mereka masih dapat mempertahankan adat-istiadat dan hubungan kekeluargaan tetap berlaku seperti di negeri asalnya.

Bentuk pemerintahan pada waktu itu dijabat oleh dua Datuk. Datuk Bagak dari Kampong Barat yang bergelar Datuk Tua berkedudukan di Susoh, sedangkan yang kedua dijabat oleh Datuk Baginda dari Kampong Pinang. Selain itu, datuk-datuk dari Kampong Durian Rampak dan Kampung Rawa berada di bawah Datuk Tua, sedangkan Datuk Kampong Pawoh berada di bawah Datuk Baginda. Silsilah para Datuk yang memerintah di Kenegerian Susoh hingga tahun 1888 adalah sebagai berikut;

  • Keturunan Datuk Tuha (Datuk Bagak) yang memerintah selama 50 tahun, yaitu Datuk Buluh, Datuk Menggalam, Datuk Muhammad Yatim. Mereka menjadi pemimpin Datuk Negeri Susoh dengan gelar Datuk Tuha.
  • Keturunan Datuk Baginda, yaitu Datuk Baginda Raja, Datuk Poh, Datuk Keng, Datuk Medan, serta Datuk Nyak Din. Mereka menjadi pemimpin negeri Susoh dengan gelar Datuk Baginda.
  • Keturunan dari Datuk Kabong, yaitu Datuk Merah Padang, Datuk Makah, Datuk Falib, dan Datuk Derham. Mereka menjadi Datuk Kampong Durian Rampak, dengan gelar Datuk Baru.
  • Keturunan Datuk Rawa, yaitu Datuk Mageh Rawa, Datuk Baren, Datuk Yamah, Datuk Marah Alam. Mereka menjadi pemimpin Kampong Rawa.
  • Keturunan Datuk Paoh, yaitu Datuk Binca, Datuk Ampek Suku, Datuk Kedusun, Datuk Kecil Lintang, Datuk Kesiring, dan Datuk Asim. Mereka menjadi pemimpin Kampong Paoh, dengan gelar Datuk Ampek Suku.
Pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim (Alaiddin Mansur Syah 1836-1870) beliau pernah mengirim sebuah ekspedisi penertiban ke negeri Susoh yang dipimpin oleh pangeran Tuanku Husen, dikarenakan negeri ini tidak membayar pajak yang telah ditentukan kepada wilayahnya. Dalam penyerangan itu, pasukan kerajaan Aceh dibantu oleh Datuk Keng dari keturunan Datuk Baginda. Sementara itu, Susoh dipimpin oleh Datuk Kepala keturunan Datuk Tuo. Peperangan berakhir setelah negeri ini kembali menghormati ketentuan yang ditetapkan oleh Kerajaan Aceh.

Perkembangan Susoh sangat dipengaruhi oleh kenegerian-kenegerian di sekitarnya, seperti Negeri Kuala Batu, Pulo Kayee, Kuta Batee (Blangpidie), Tangan-Tangan, dan Manggeng. Di antara penduduk Susoh dengan penduduk di kenegerian sekitarnya terdapat hubungan kekeluargaan, walaupun sudah agak berjauhan silsilahnya. Mata pencaharian utama adalah pertanian sawah, perikanan (nelayan) dan perdagangan. Hasil di bidang perikanan banyak dipasarkan ke berbagai pelabuhan di Aceh hingga ke dataran tinggi Gayo. Kenegerian Susoh telah menandatangani Korte Verklaring dengan Belanda pada tanggal 24 Februari 1874.

Kuala Batu merupakan bumper dari Negeri Susoh yang dipimpin oleh Keucik Karim. Ia merupakan ketua kelompok petani yang berasal dari Pidie. Setelah mendapatkan izin dari Datuk Susoh, ia dan kerabatnya membuka perkebunan lada di Lama Inong, pedalaman Kuala Batu. Permintaan izin disetujui dengan syarat harus membayar pajak kepada Datuk Susoh dan Sultan Aceh. Leube Daffa ayah Raja Basa Bujang, sebagai pemerintah di negeri Trumon, merupakan wakil Sultan Aceh yang mengutip pajak di daerah pesisir Barat. Keucik Karim yang bergelar Teuku Lama membayar seluruh pajak yang menjadi kewajibannya, namun lambat laun dalam hasil panen selanjutnya tidak mau mengirim upeti lagi kepada Sultan. Demikian juga kapal-kapal yang seharusnya memuat lada melalui pelabuhan Susoh mulai dialihkan ke Kuala Batu, sehingga Kenegerian Susoh mengalami kerugian.

Dalam bisnis pelayaran dan perdagangan, Tuanku Samike mendapat laba yang banyak dari komisi dan biaya angkutan kapal. Ia kemudian berunding dengan Datuk Susoh untuk menjadikan Kuala Batu sebagai pelabuhan resmi. Tugas itu kemudian diserahkan kepada anaknya, Teuku Nyak Haji dan Raja Bujang. Namun, cukup disayangkan karena terlebih dahulu dia meninggal, sehingga pelaksanaan perjanjian itu menjadi terhalang.

Kuala Batu akhirnya diserang oleh Datuk Susoh dibantu oleh Raja Trumon. Dalam peperangan itu, kemenangan berlangsung secara bergantian dan konflik tersebut baru berakhir setelah berlangsungnya perkawinan antara putera Teuku Lama, Raja Kuala dengan cucu Datuk Bagak dari Susoh. Setelah Teuku Lama meninggal, kekuasaan dipegang oleh saudaranya, Raja Pidie. Raja Pidie sendiri semenjak remaja berpengalaman dalam bidang pemerintahan dan terlibat dalam usaha perdamaian antara Kuala Batu, Susoh dan Trumon. Setelah merasa dirinya mampu, ia menghadap Sultan di Bandar Aceh, untuk memandirikan Kuala Batu dari Kenegerian Susoh. Raja Pidie menikahi perempuan yang berasal dari Air Bangis (Sumatra Barat) dan mendapat keturunan seorang anak laki-laki yang bernama Raja Sulaiman. Raja Sulaiman kemudian memerintah di daerah sebelah kiri Krueng Batu, sedangkan daerah sebelah kanan dikuasai oleh Pocut Hasan, anak laki-laki dari Pocut Abdullah yang berasal dari daerah XXVI Mukim, Aceh Besar. Mereka pada awalnya datang bersama-sama dengan Pocut Kuala pada masa pemerintahan Raja Pidie.
Raja Sulaiman tetap memerintah kerajaan negeri Kuala Batu hingga tahun 1881 dengan tiga wilayah pemerintahan, yaitu :

  1. Raja Sulaiman wilayahnya terdiri dari Madat Manyang, Sarulah, Sikabu, Teurubue, Lama Inong, dan Siangen-Angen.
  2. Pocut Hasan wilayahnya terdiri dari Lhok Ek, Kuta Raya, dan Kuta Cot Dolah.
  3. Sedangkan daerah yang tunduk kepada Kuala Batu adalah negeri Seumanyam, Surin, Lama Tuha, dan Lama Muda.
Mata pencaharian penduduk di negeri Kuala Batu adalah perkebunan lada, menanam padi, mengumpulkan hasil hutan dan perdagangan maritim yang berpusat di pelabuhan Kuala Batu. Pelabuhan ini pernah menjadi pusat perdagangan internasional, namun pelabuhan tersebut diserang oleh armada Amerika Serikat dengan kapal Potomac pada tahun 1832. Hal itu berkaitan karena peristiwa sebelumnya, berupa penyanderaan kapal dagang Amerika Serikat, Frienship, yang ingin menyeludupkan lada dari pelabuhan Kuala Batu oleh masyarakat. Kenegerian Kuala Batu menandatangani perjanjian Korte Verklaring pada tahun 1881 sebagai tanda tunduk kepada pemerintah Belanda. Perjanjian itu ditandatangani oleh Raja Sulaiman.
Kenegerian Pulo Kayee dibangun oleh Datuk Ampek dari Kenegerian Susoh, namun kemudian datang orang Aceh yang berasal dari XXVI Mukim, Aceh Besar dan meminta izin kepada Datuk Susoh untuk bermukim dan membuka perkebunan lada, tetapi dengan syarat harus membayar pajak untuk negeri Susoh dan untuk Sultan Aceh. Kewajiban membayar pajak tersebut ternyata tidak dipenuhi terus-menerus sebagai persyaratan yang telah disepakati. Mereka hanya membayar pajak kepada Datuk Susoh selama dua kali panen saja.
Ketika Pulo Kayee dipimpin oleh Datuk Mak Ubat, Teuku Lambada Adam diangkat sebagai syahbandar. Untuk membebaskan diri dari negeri Susoh, dibuatlah sebuah saluran baru sepanjang 600 meter yang terletak dekat Pulo Kayee menuju arah laut sebagai pengganti muara sungai. Kanal tersebut dipakai sebagai jalan untuk mengeluarkan lada dari hulu ke laut, yang sebelumnya melalui sungai Pinang dekat negeri Susoh. Saluran itu kemudian diberi nama dengan Air Bakali.
Pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim dengan gelar Alaiddin Mansur Syah (1836-1870), mengirim seorang utusan untuk memungut pembagian upeti lada di Pulo Kayee kepada Datuk Susoh yang kemudian dimandatkan kepada Teuku Lambada Adam, sebagai syahbandar Pulo Kayee. Tuntutan itu ditolak dan kapalnya yang berlabuh di Pulo Kayee ditenggelamkan dengan tembakan meriam. Setelah itu, seorang yang bernama Teuku Nyak Syeh, seorang pemimpin petani lada dari Pidie, meminta izin kepada Datuk Susoh untuk mengeluarkan lada melaui pelabuhan Pulo Kayee. Permohonan itu disetujui dengan syarat harus membayar upeti yang telah ditetapkan.
Silsilah uleebalang yang memerintah di negeri Pulo Kayee, terdiri atas Teuku Nyak Syeh, Teuku Nyak Husin, Teuku Nyak Sawang dan Teuku Raja Cut. Ketika Teuku Raja Cut masih kecil, ibunya menikah dengan Raja Blangpidie, Teuku Ben Mahmud. Pada tahun 1880 kenegerian Pulo Kayee menandatangani perjanjian Korte Verklaring atas nama Teuku Raja Sawang, sementara Teuku Ben Mahmud dari Blangpidie masih melakukan resistensi terhadap Belanda.

A. Perkembangan Kenegerian Kuta Batee (Blangpidie)
Secara geografis kenegerian Blangpidie pada mulanya termasuk wilayah kenegerian Susoh. Pada mulanya orang yang mendiami daerah itu, terutama daerah sebelah Utara adalah orang dari Suku Batak dan Gayo. Namun mereka terdesak oleh penduduk yang datang kemudian, yaitu orang Minangkabau. Orang dari Aceh Besar di bawah pimpinan Teungku Di Lhong. Sedangkan orang dari Pidie yang dipimpin oleh Teuku Lampoh Deu yang mendiami di Hulu Susoh pada dataran rumput yang terletak di daerah Kuta Batee (kota Blangpidie sekarang), membuka lahan persawahan di sana. Setelah itu datang pula Teuku Ben Agam juga dari Pidie mendiami daerah Pulo Dua. Pada sekitar abad ke-19, datang pula Teuku Keucik Bo Kuta, dan mendiami daerah Kutatinggi. Sementara Panglima Langsa mendiami daerah Lampoh Drien (Meudang Ara), sedangkan Pang Ujoh mendiami daerah Kutatuha.
Pada mulanya setiap pendatang itu membentuk koloni permukiman yang terlepas satu sama lain dan saling curiga-mencurigai, sehingga sering terjadi peperangan antarkelompok di sana. Peperangan terus berlanjut dan baru berakhir setelah Tuanku Husin bin Sultan Ibrahim (Alaiddin Mansursyah 1836-1870), dapat mendamaikan keduabelah pihak yang bertikai dan sekaligus mengakui bahwa kenegerian Blangpidie di bawah Teuku Ben Agam terlepas dari Kenegerian Susoh. Setelah Teuku Ben Agam meninggal dunia, lalu digantikan oleh anaknya Teuku Ben Abbas, dan seterusnya digantikan oleh anaknya Teuku Ben Mahmud.Pada masa kecil Teuku Ben Mahmud bertindak sebagai pemangku raja, sedangkan dalam mengendalikan pemerintahan adalah Teuku Raja Sawang, uleebalang Kenegerian Pulo Kayee. Ketika Teuku Ben Mahmud berperang melawan Belanda, lalu Teuku Raja Sawang bertindak atas nama uleebalang Blangpidie yang menandatangani surat perjanjian Korte Verklaring pada tahun 1880.
Pada tahun 1908 Teuku Ben Mahmud dikembalikan haknya sebagai uleebalang Blangpidie, setelah berdamai dengan pihak Belanda. Hubungan antara uleebalang Blangpidie dengan uleebalang Pulo Kayee bermula dari tokoh pendiri kenegerian Pulo Kayee yang bernama Teuku Nyak Syech yang menikahi Nyak Buleun, cucu tertua dari Teuku Ben Agam, uleebalang kenegerian Blangpidie yang pertama.
Teuku Ben Mahmud memerintah atas penunjukan dari Sultan Aceh, dengan gelar Teuku Ben Mahmud Setia Raja, sekitar tahun 1885. Sedangkan berdasarkan besluit Belanda untuk kenegerian Kuta Bate Blangpidie dijabat Teuku Raja Sawang berdasarkan Korte Verklaring Pulo Kayee tahun 1884. Dengan permintaan kepada Pemerintah Hindia Belanda bahwa negeri Kuta Bate (Blangpidie) dan Pulo Kayee merupakan negeri mandiri yang berdiri sendiri-sendiri. Pengukuhan perjanjian itu dituangkan dalam Akta No.10 tanggal 15 Juni 1901, ketika Teuku Raja Cut memerintah. Akan tetapi Akta persetujuan tersebut tidak sempat dilaksanakan karena terjadi kematian Teuku Raja Cut, sehingga lama-kelamaan keturunan Teuku Ben (Teuku Ben Agam, Teuku Ben Abah dan Teuku Ben Mahmud) dianggap sebagai penguasa terhadap kedua kenegerian tersebut.
Pada tahun 1910, kenegerian Blangpidie terdiri dari empat Uleebalang Cut, yaitu:

  • Pulo Kayee, yang dipimpin oleh Teuku Umar, mertua Teuku Raja Cut. Wilayahnya terdiri dari Keude Pulo Kayee, Alue Sungai Pinang, Guhang, Ladang Neubok, Padang Glumpang, Iku Lhueng, Paya Pisang Klat, Lhueng Tarok, Lhueng Asan, Gunong Cut, serta Alue Rambot.
  • Kuta Tuha, dipimpin oleh Teuku Ben Mahmud Blangpidie, yang meliputi wilayah yaitu, Kuta Batee dan Pante Ara, yang kemudian berkembang menjadi Keude Siblah.
  • Lampoh Drien, dipimpin oleh Teuku Dirih, meliptui wilayah Seunaloh, Kuta Padang, Kuta Tutong, Lampoh Drien, Alue Badeuk, serta Alue Keubeu Jagat.
  • Kuta Tinggi, dipimpin oleh Teuku Lampoh U dan anaknya, Teuku Raja Itam yang meliputi wilayah Mata Ie, Kuta Tinggi, Panton Seumancang, dan Paya.
B. Kota Kuta Batee (Blangpidie) dan Sekitarnya Pada Saat Invasi Marsose Belanda
Pada tahun 1900, pasukan Belanda melakukan invasi ke negeri Blangpidie. Belanda dan kemudian membangun Tangsi Marsose (bivak) sebanyak satu kompi di Kuta Batee, yang sebelumnya bivak tersebut berada di Susoh. Semenjak itu Blangpidie berkembang pesat sebagai kota perdagangan antarnegeri.
Perkembangan Pasar Blangpidie itu sangat didukung oleh situasi keamanan dan kedudukan pusat militer Belanda di Blangpidie. Dengan adanya Tangsi Militer Belanda itu banyak orang Belanda dan tentaranya datang ke Blangpidie maka muncullah berbagai macam kebutuhan hidup, sehingga para pedagang, terutama orang-orang Cina yang berasal dari Sibolga dan Padang datang mendirikan toko-toko yang menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari di sekitar Bivak Belanda tersebut. Dalam perkembangannya ternyata para pedagang itu tidak hanya menyediakan kebutuhan para militer Belanda yang ada di daerah itu, tetapi juga untuk penduduk di sekitarnya termasuk dari daerah Gayo Lues. Demikian juga dengan para pedagang, tidak hanya terbatas dari orang Cina tetapi juga diikuti oleh pedagang lainnya, baik yang berasal dari orang Minangkabau atau penduduk dari kenegerian yang berdekatan yaitu Susoh dan Meukek. Hal demikian terjadi setelah tahun 1920-an semenjak selesainya jaringan jalan raya yang menghubungkan Kutaraja dengan Tapaktuan.
Kenegerian Tangan-Tangan terdiri atas empat wilayah kenegerian, yaitu Suak, Tangan-Tangan Cut, Tangan-Tangan Rayeuk, dan Lhok Pawoh Utara. Namun Kreemer menambahkan satu daerah lagi, yaitu daerah uleebalang Babah Lhok. Kenegerian itu terletak di sepanjang pantai, mulai dari Kuala Sangkalan yang berbatasan dengan Kenegerian Susoh hingga Ujung Lhok Pawoh yang berbatasan dengan kenegerian Manggeng.
Kenegerian Tangan-Tangan itu pada mulanya termasuk ke dalam wilayah Kenegerian Susoh, namun kemudian memisahkan diri. Suak dengan persetujuan Datuk Susoh memberi izin kepada Panglima Bantan dan Panglima Giri yang berasal dari ketua kelompok petani XXV Mukim Aceh Besar untuk membuka perkebunan lada di daerah itu, namun dengan syarat harus membayar pajak hasil panen lada. Kewajiban membayar pajak itu hanyalah dipenuhi selama dua tahun, kemudian mereka tidak mau membayar lagi.Datok Susoh kemudian menyuruh Tok Kada selaku ketua kelompok petani lada dari XXII Mukim, Aceh Besar, yang membuka perkebunan lada di Lhok Pawoh Utara untuk memerangi kelompok Panglima Bantan dan Panglima Giri. Mereka kalah perang dan melarikan diri, lalu Datok Susoh menyerahkan wilayah itu kepada Tok Kada. Demikian juga dengan dua wilayah lainnya, yaitu Tangan-Tangan Cut dan Tangan-Tangan Rayeuk diserahkan kepada Tok Kada, namun dengan syarat harus membayar pajak hasil lada dan setiap membuka lahan pertanian di daerah itu harus mendapat izin dari Tok Kada. Perjanjian itu juga hanya terlaksana selama dua tahun, setelah itu diingkarinya, lalu terjadilah peperangan antara Tok Kada dengan Datuk Susoh.
Peperangan tersebut berakhir dengan cara melakukan “tukar anak”, yaitu putera Tok Kada yang bernama Cut Hajat ditukar dengan putera Datuk Bagak dari Susoh yang bernama Panglima Mak Tek. Cut Hajat kemudian dinikahkan dengan perempuan dari Susoh keturunan Minangkabau, sedangkan Panglima Mak Tek dinikahkan dengan puteri Tok Kada.
Pada tahun 1880 kerajaan negeri Tangan-Tangan menandatangani perjanjian Korte Verklaring sebagai tanda tunduk kepada pemerintah Belanda. Pada sekitar tahun 1888, keempat wilayah uleebalang itu diperintah oleh seorang raja, yaitu Teuku Cut Ahmad bin Teuku Cut Hajat, yang telah menikah dengan puteri Tuanku Raja Kecil dari negeri Seuneuam (termasuk ke dalam wilayah kabupaten Nagan Raya sekarang).
Pada waktu itu, penduduk di wilayah itu berasal dari XXII Mukim, Aceh Besar dan sebagian lagi berasal dari Minangkabau. Mereka berdiam di keempat wilayah uleebalang itu dan sebagian lainnya terpencar di daerah perkebunan lada. Mata pencaharian utamanya adalah menanam padi di sawah dan berladang, sedangkan penanaman lada mengalami kegagalan karena terjadinya peperangan serta tidak beresnya birokrasi pemerintahan. Hasil-hasil perdagangan di daerah ini juga diekspor melalui pelabuhan Susoh.
Negeri Manggeng meliputi pantai Barat, yang wilayahnya mulai dari Ujong Lhok Pawoh berbatasan dengan Lhok Pawoh Utara (Tangan-Tangan) hingga Kuala Pawoh Baru (Krueng Baru) berbatasan dengan Labuhan Haji. Negeri ini terdiri dari dua buah wilayah uleebalang, yaitu wilayah Uleebalang Bak Weu, yang wilayahnya mulai dari Krueng Manggeng hingga Krueng Baru (berbatasan dengan Labuhan Haji). Sedangkan Uleebalang Manggeng wilayahnya mulai dari Krueng Manggeng hingga Lhok Pawoh (berbatasan dengan Tangan-Tangan). Kedua wilayah uleebalang itu di bawah pemerintahan satu raja yaitu Datok Beusa (Datuk Besar).
Menurut sejarah, dulu negeri ini merupakan bagian dari wilayah negeri Susoh. Akibat larinya Panglima Bantan dan Panglima Giri dari Suak karena kalah perang dengan Tok Kada, maka seluruh pengikutnya menyerah dan memohon kepada Datuk Susoh untuk dapat tinggal dan menetap di wilayah Manggeng. Mereka diizinkan tinggal di wilayah itu dengan syarat harus memenuhi ketentuan yang berlaku dan mengakui Datok Beusar sebagai kepala. Sebagaimana telah disebutkan pada bagian yang lalu bahwa pada masa pemerintahannya Sultan Alauddin Jauhar Alam juga pernah mengirimkan ekspedisi penertiban ke negeri Manggeng.
Setelah Datok Beusa meninggal dunia, kedua anaknya menggantikannya untuk memerintah. Anaknya yang bungsu, Cut Hajat yang lahir di Aceh Besar mendapat tugas untuk memimpin negeri Manggeng karena abangnya mengalami keterbelakangan mental. Setelah Cut Hajat meninggal dunia, anak abangnya yang bernama Datok Dolah mengambil alih tampuk kekuasaan. Akan tetapi karena Datok Dolah kurang terpuji akhlaknya, sehingga ia digantikan oleh putera Cut Hajat yang bernama Nyak Hasan menjadi raja di negeri Manggeng.
Berdasarkan keterangan dari sumber lokal menyebutkan bahwa Kerajaan Manggeng terdiri dari dua buah wilayah uleebalang, yaitu Uleebalang Manggeng dan Uleebalang Bak Weu. Kedua uleebalang itu diperintah oleh satu raja. Raja pertama yang memerintah di Kenegerian Manggeng itu adalah Datok Beusa, diyakini masih ada hubungan famili dengan Sultan Iskandar Muda. Setelah Datok Beusa meninggal, lalu digantikan oleh anaknya, Teuku Datok Muda. Teuku Datok Muda digantikan oleh Teuku Datok Cut Amat, lalu digantikan oleh Teuku Datok Nyak Dolah. Teuku Datok Nyak Dolah digantikan oleh Teuku Raja Geh, setelah itu digantikan oleh Teuku Sandang, namun karena Teuku Sandang melakukan sesuatu kesalahan, sehingga ia diasingkan oleh Belanda ke Batavia (Jakarta). Selama ia berada di Batavia yang mengendalikan kerajaan untuk sementara adalah Teuku Cut Mamat (anak Teuku Raja Geh). Tidak begitu lama ia memerintah lalu digantikan oleh Teuku Muda Nana dan pemangku Nyak Blang. Setelah Teuku Sandang kembali dari Batavia, diangkat kembali menjadi raja di negeri Manggeng. Tidak lama Teuku Sandang memerintah kemudian digantikan oleh Teuku Raja Iskandar pada tahun 1933 dan sekaligus sebagai raja terakhir di Kenegerian Manggeng.
Di antara uleebalang yang memerintah di wilayah uleebalang Bak Weu (Lembah sabil sekarang) adalah: Nyak Makam, Teuku Lanta, Teuku Hasan, dan Panglima Angkop. Sedangkan uleebalang yang memerintah di wilayah uleebalang Manggeng, di antaranya Teuku Cut Leh, Teuku Gara, Teuku Tawi, dan Teuku Sabe/Sabi. Pusat kerajaan Manggeng yang pertama terletak di di muara sungai Ujong Manggeng (di antara gampong Padang Meurandeh (Padang Makmur) berbatasan dengan ujung Desa Alue Rambot). Kemudian pindah ke gampong Blang Manggeng, lalu pindah ke gampong Tokoh, setelah itu pindah ke gampong Padang, dan terakhir di Keudai Manggeng.
Setelah merdeka, wilayah Uleebalang Bak Weu menjadi Kemukiman Suak Beurembang dan wilayah Uleebalang Manggeng menjadi Kemukiman Ayah Gadeng. Akan tetapi karena terlalu luas, sehingga Kecamatan Manggeng dimekarkan menjadi 4 kemukiman. Kenegerian Manggeng menandatangani korte verklaring sebagai tanda tunduk kepada pemerintah Belanda, pada tahun 1881.
Penduduk negeri Manggeng sebagian besar berasal dari XXV Mukim Aceh Besar dan bercampur dengan orang Minangkabau. Mereka mendiami Kampung Manggeng (sebelah barat sungai Manggeng) dan di Kampung Bak Weu (sebelah selatan sungai Manggeng), dan selebihnya tersebar di ladang-ladang. Mata pencaharian di daerah itu adalah bertanam padi di ladang dan sedikit ditanam di sawah. Sedangkan tanaman lada tidak begitu berkembang. Hasil-hasil perdagangan di daerah itu diekspor melalui pelabuhan Susoh.

C. Kedatangan dan Penyebaran Cina di Blangpidie
Sejarah kedatangan Cina di Blangpidie berdasarkan sumber oral history lokal dan Said Abubakar dalam bukunya Berjuang Untuk Daerah: Otonomi Hak Azazi Insani yang diterbitkan oleh Yayasan Nagasakti Banda Aceh pada tahun 1995. Berdasarkan oral history yang pernah diketahui disebutkan bahwa kedatangan Cina pada awalnya dikarenakan keterlibatan mereka dalam pembangunan Tangsi Militer Belanda di Kuta Batee (Blangpidie) dan pembangunan rumah uleebalang Susoh Datuk Nyak Raja. Hal itu diperkuat dengan keberadaan Datuk Nyak Raja yang merupakan seorang uleebalang dan merangkap sebagai seorang kontraktor yang sukses karena kedekatannya dengan kolonial sehingga ia juga dipercayakan dalam pembangunan tangsi militer Belanda di kota Blangpidie sekitar tahun 1900. Selain itu, ia juga dipercayakan oleh Belanda dalam pembangunan jalan raya mulai dari Blangpidie hingga ke Seumayam, di perbatasan dengan kabupaten Nagan Raya sekarang.
Pada saat itu Belanda banyak mempekerjakan para buruh dan pekerja dari Cina di dalam pengerjaan kontruksi bangunan bahkan rumah pribadi Datuk Nyak Raja di Pante Perak Susoh (yang pernah digunakan sebagai kantor Komisi Independen Pemilihan Umum Kabupaten Aceh Barat Daya) juga dibangun oleh tukang-tukang dari Cina. Sejak saat itu banyaklah datang pedagang Cina terutama dari Sibolga dan Padang untuk dapat berdagang di sana.
Sejak adanya tangsi Belanda di Kuta Batee Blangpidie maka dimulailah aktivitas kolonial Belanda di Blangpidie dan sejak saat itu pula aktivitas Cina di kota ini dalam membangun komunitas usaha dan perdagangan di sekitar tangsi yang digunakan sebagai pasar tradisional dalam mempertemukan antarpembeli dan penjual, walaupun keberadaan mereka saat itu masih sangat sedikit. Sejakpenandatanganan Korte Verklaring di Pulo Kayee oleh pengampu Kuta Batee Raja Sawang maka sejak tanggal 9 Maret 1874, penggantian nama kota ini menjadi Blangpidie dimulai.
Seiring dengan semakin membaiknya pertumbuhan kota Blangpidie yang ditopang oleh perekonomian berbasis pertanian sawah pada masa lalu sehingga terkenal dengan “brand image” sebagai daerah breuh sigeupai yaitu suatu jenis varietas padi unggulan di daerah itu yang sangat terkenal ke seluruh Aceh bahkan luar daerah seperti Singkil dan Sumatera Barat.
Munculnya plantation perkebunan kelapa sawit dan karet di perkebunan Seumayam membuat denyut perekonomian di kota Blangpidie semakin membaik dan stabil. Hal ini ikut mendorong semakin ramainya komunitas pedagang di kota Blangpidie pada saat itu sehingga Blangpidie tumbuh sebagai pusat keramaian dari aktivitas perdagangan lokal yang difasilitasi dengan pasar, sekolah, usaha pertanian, perkebunan, pertukangan, dan peternakan. Sejak saat itu, pusat kota Blangpidie didatangi para investor yang ingin berdagang di sana termasuk keberadaan pedagang Cina. Mereka menempati toko-toko di sekitar tangsi seperti jalan Perdagangan, jalan Sentral, jalan Persada dan sedangkan pedagang lokal lebih banyak berkonsentrasi di sekitar Pasar Ikan Lama dan jalan Selamat di kota Blangpidie.
Permasalahan utama yang kerap terjadi di kota Blangpidie adalah kebakaran, di mana di kota ini telah terjadi berulang kali kebakaran yang menghanguskan kota ini karena disebabkan penggunan kontruksi bangunan pertokoan yang berbahan baku kayu. Hal ini menyebabkan sering terjadi perubahan pada struktur “wajah” bangunan toko sehingga tidak diketahui wujud asli keseluruhannya lagi kecuali deretan toko yang membanjar dari Barat ke Timur di Jalan Selamat yang dapat bertahan hingga akhirnya satu per satu mengikuti kontruksi permanen dengan pola bangunan ruko yang berlantai satu, dua, bahkan sampai tiga seperti sekarang ini sejak tahun 2000-an pasca kebakaran besar pada sekitar tahun 1998. Sekarang ini, selain berdagang, mereka juga mengusahakan sarang burung walet pada bagian tertinggi toko yaitu lantai tiga dan empat.

Sumber: Artikel ini disalin dari blognya: Boelach Goehang  [http://anisabulah.blogspot.com/]. Boelach Goehang adalah Penulis & Peneliti di Balai Pelestarian Sejarah & Nilai Tradisional Banda Aceh, Wil. Kerja Prov. Aceh-Sumut. Disalin ulang semata-mata untuk tujuan mensosialisasikan, mengenalkan sejarah, budaya Aceh di mata dunia.

Sumber copyan : http://kualabatee.blogspot.com/2012/02/negeri-negeri-di-aceh-barat-daya-dalam.html


No comments:

Post a Comment