Saturday 7 March 2015

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Merupakan Kisah Nyata

Anda tentu pernah mendengar tentang novel  Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang dikarang oleh Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)





Meskipun novel yang menceritakan tentang kisah cinta Zainuddin dan Hayati ini hanya berupa cerita fiksi, kapal Van Der Wijck yang ada di cerita tersebut memang benar-benar ada. Dan benar-benar pernah tengelam di perairan pesisir Lamongan seperti yang diceritakan dalam novel yang diterbitkan pertama kali tahun 1939 tersebut.






Di Desa Brondong, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, Provisi Jawa Timur, ada sebuah monumen bersejarah bernama Monumen Van Der Wijck.  Monumen tersebut dibangun pada tahun 1936 sebagai tanda terima kasih masyarakat Belanda kepada para nelayan yang telah banyak membantu saat kapal yang namanya diambil dari nama Gurbenur Jenderal Hidia–Belanda itu tenggelam.





Monumen Van Der WijckKapal yang juga disebut dengan nama De Meeuw atau The Seagull, yang dalam bahasa Indonesia berati “Burung Camar”, sangat cocok untuk menggambarkan keanggunan kapal yang pada bulan Oktober 1936 tenggelam saat dalam perjalanan dari Bali menuju ke Semarang dan sempat bersinggah di Surabaya.
Kapal besar dengan lebar 13,5 meter dan berat lebih dari 2,5 ton ini tengelam karena kebanyakan muatan orang. Korban meninggal sebanyak 4 orang, dan hilang di laut diperkirakan sekitar 50 orang dari sekitar 240 penumpang. Jumlah korban tidak diketahui pasti karena ada yang mengatakan banyak warga pribumi yang ikut hilang dan tak tercatat sebagai penumpang dalam kapal ini. Saat kapal mulai tenggelam, para nelayanlah yang membantu proses evakuasi dan menyelamatkan korban-korban yang bisa ditolong.
Monumen berbentuk persegi panjang yang menjulang ke atas ini merupakan salah satu dari monumen bersejarah di Indonesia. Memang, apabila dibandingkan dengan Monumen Nasional (Monas) di Jakarta, Tugu Pahlawan di Surabaya, Monumen Bandung Lautan Api di Bandung, atau Monumen Palagan Ambarawa di Semarang, tentu Monumen Van Der Wijck ini lebih sederhana dan tidak sepopuler keempat monumen di atas. Tapi Monumen Van Der Wijck ini memiliki keunikan cerita tersendiri yang berbeda dibanding empat monumen itu.
Monumen Van Der WijckJika Monas, Tugu Pahlawan, Monumen Bandung Lautan Api, serta Monumen Palagan Ambarawa memiliki makna perjuangan bangsa Indonesia melawan Belanda, monumen Van Der Wijck lebih bercerita tentang perjuangan nelayan Brondong membantu penumpang kapal Belanda yang tenggelam.
Ironisnya, tidak banyak masyarakat sekitar Brondong yang tahu tentang cerita yang tersimpan di balik monumen ini. Bahkan ada yang tidak tahu tentang keberadaan monumen tersebut. Memang monumen yang tigginya hanya sekitar 4 meter ini tidak begitu menonjol, bahkan lebih rendah dari sebuah menara yang berada tepat di sebelahnya. Saat pertama kali kita melihatnya, tidak terkesan bahwa monumen tersebut memiliki cerita yang melegenda. Padahal jika dilihat dari sudut pandang sejarah yang ada, monumen ini bisa dijadikan ikon tersendiri bagi masyarakat Brondong selain Tempat Pelelangan Ikan (TPI).
Monumen ini bisa kapan saja Anda kunjungi, karena memang terbuka untuk umum. Untuk mengunjunginya pun tidak dikenakan biaya alias gratis. Lokasinya di area Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Brondong, sekitar 15 km sebelah timur Tuban, atau sekitar 84 km sebelah barat
shipsandharbours.com
shipsandharbours.com
Surabaya. Berada persis di belakang gerbang masuk TPI dan bersebelahan dengan kantor Perum Prasarana Perikanan Samudera, membuat monumen ini sangat mudah ditemukan. Selain melihat monumen ini Anda juga bisa sekalian berbelanja ikan secara langsung di pedagang ikan laut yang letaknya tidak lebih dari 100 meter dari monumen.
Meskipun terlihat sepi dari pengunjung, monumen ini layak Anda kunjungi, terutama jika Anda pencinta wisata sejarah atau jika Anda ingin tahu sejarah yang menginspirasi Hamka menulis novel. 

No comments:

Post a Comment